Management Club

Manajemen Talenta di Klub Sepakbola

21 Dec
Dengan menggunakan sudut pandang manajemen talenta, saya respek terhadap  tiga klub sepakbola profesional di Eropa, yaitu Ajax Amsterdam, FC Arsenal (Inggris) yang menjadi klub kebanggaan keluarga kerajaan Inggris, dan FC Barcelona yang menjadi kebanggaan masyarakat Catalan.
Dalam konteks manajemen talenta, saya tidak pernah hormat kepada beberapa klub sepakbola yang tidak membangun tradisi dan proses yang benar dalam menjalankan manajemen talenta, antara lain FC Manchester City dan FC Real Madrid. Pendapat subyektif saya, pelatih seperti Roberto Mancini dan Jose Mourinho adalah orang-orang yang tidak memiliki kepercayaan dan rasa hormat kepada proses dan hasil manajemen talenta. Mancini dan Mourinho adalah orang yang lebih percaya kepada kekuasaan uang daripada “sustainable achievement” yang dicapai melalui fondasi bernama manajemen talenta.
Secara umum, manajemen talenta dapat didefinisikan sebagai proses “identification, development, engagement/retention, deployment of ‘talent’ within a specific organizational context.”(CIPD, 2006 : 2). Ketiga klub tersebut memiliki tradisi yang kuat dan proses yang konsisten menjalankan manajemen talenta.


Manajemen Talenta di Klub-Klub Sepakbola Profesional.
Di era tahun 2000-an sampai saat ini, prestasi Ajax Amsterdam memang sedang “melempem”. Meskipun pernah menjadi juara Piala Champion tiga kali berturut-turut 1971-1973 dan terakhir tahun 1995, di era sepakbola profesional yang sudah dikuasai oleh para kapitalis dan menjadikan uang menjadi raja, Ajax kalah bersaing dengan klub lain di tingkat Eropa.
Tetapi di tingkat lokal, Ajax – bersama-sama dengan Feyenoord dan PSV Eindhoven – secara bergantian menjadi “raja” Eredivisie (liga sepakbola divisi utama di Belanda). Bahkan, secara tradisi, para pesepakbola nasional Belanda adalah alumni dari Ajax. Sebut saja nama-nama Johann Cruyff, Edwin van der Sar, Marco van Basten, Dennis Bergkamp dan Wesley Schneider.
Sejatinya, para pesepakbola profesional yang saat ini “merumput” di berbagai klub sepakbola profesional di berbagai negara Eropa, mereka adalah juga alumni dari Ajax. Sebut saja nama-nama seperti Luiz Suarez (saat ini bermain di FC Liverpool), Nigel de Jong (saat ini bermain di FC Manchester City). Bahkan, tiga di antara 4 back yang saat ini memperkuat kesebelasan nasional Belgia adalah dididikan akademi sepakbola Ajax (Thomas Vermeulen, Jan Vertonghen, dan Toby Alderweireld).
FC Arsenal adalah juga salah satu klub sepakbola memiliki tradisi dan proses manajemen talenta yang akuntabel. Meskipun tidak pernah menjadi juara liga Champion, Arsenal (bersama dengan FC Real Madrid dan FC Manchester United) adalah klub yang selama 15 tahun terakhir selalu bermain di level liga Champion. Prestasi yang tidak mampu diraih oleh FC Barcelona sekalipun. Prestasi tersebut menjadi fenomenal karena “tulang punggung” yang membela Arsenal di Liga Champion berusia relatif muda (22-24 tahun), termuda dalam sejarah penyelenggaraan kejuaraan liga Champion.
Photo courtesy of http://www.arsenalpics.com
Di tingkat lokal Inggris, sudah 6 tahun terakhir Arsenal tidak mampu merebut gelar apapun. Tetapi kalau ada klub yang konsisten “bertengger” di the big four, Arsenal adalah salah satunya. Meskipun sudah 6 tahun pelatih Arsene Wenger tidak mempersembahkan gelar, kinerja dan prestasi Wenger tetap diakui dan dihormati oleh para pelatih dan pesepakbola.
“Tangan dingin” Wenger telah mengubah Arsenal menjadi klub sepakbola Inggris yang layak menjadi tuntunan dan tontonan permainan sepakbola yang indah dan menyerang, menggantikan gaya bermain kick and rush yang “bikin mual” dan dimainkan oleh klub-klub sepakbola Inggris pada umumnya. Kepercayaan Wenger pada para pesepakbola muda, kesabaran dan ketekunannya membina mereka menjadi pesepakbola yang sangat kompeten, seakan “menampar” Roberto Manchini dan Manchester City yang lebih suka membeli pemain yang sudah jadi.
Duet antara pelatih Arsene Wenger dan Steve Rowley (kepala pemandu bakat Arsenal) terbukti berhasil membuahkan beberapa pesepakbola yang kompeten. Wenger dan Rowley adalah “arsitek” yang “membidani” kelahiran beberapa pesepakbola seperti Cecs Fabregas, Samir Nasri, Emmanuel Adebayor, Gael Clichy. Tidak heran kalau kemudian Arsenal menjadi benchmark bagi pembinaan pesepakbola. Tidak heran juga kalau kemudian Arsene Wenger “didapuk” (baca : ditunjuk) menjadi pelatih kepala dari The Champs, yaitu program pembinaan pesepakbola usia muda dari negara-negara di Asia dan Afrika.
Bagaimana dengan akademi sepakbola milik FC Barcelona?. La Masia saat ini menjadi salah satu akademi sepakbola terbaik di dunia. Hampir semua pesepakbola yang saat ini menjadi tim inti FC Barcelona dan timnas Spanyol, mereka adalah hasil dididikan akademi sepakbola La Masia, seperti yang dikatakan oleh Rosell sebagai berikut :
Barcelona president Sandro Rosell believes the Catalans develop the best players in the world at their youth academy. Players such as Xavi, Andres Iniesta, Sergio Busquets and Carles Puyol all came through the ranks of La Masia, and Rosell has made it clear that the Camp Nou club have made a deliberate choice to invest in the development of home-grown talent.”
Photo courtesy of Pat Crerand
Secara umum, tidak ada perbedaan signifikan antara La Masia dengan akademi sepakbola yang dikelola oleh klub-klub sepakbola profesional. Dana yang dibutuhkan untuk membina talenta muda juga tidak terlalu mahal, paling tidak jika dibandingkan dengan harga transfer Fernando Torres dari  Liverpool ke Chelsea.
Pertanyaannya : Lalu mengapa klub-klub besar Eropa lain tidak meniru model La Masia, yang hanya memakan biaya sekitar seperlima dari uang transfer £50 juta bagi Fernando Torres yang dibayar Chelsea ke Liverpool? Albert Puig (Koordinator Akadami Sepakbola La Masia) menjelaskan sebagai berikut :
“Klub lain seperti Real Madrid memiliki satu sistem akademi yang bagus juga, bedanya mereka tidak mempergunakan pemain lulusan akademinya,” tambah Puig. “Jadi sebenarnya pendidikan para pemain itu belum selesai. Sedangkan kami menyatukan para pemain berbakat kami ke tim inti secara rutin. Jadi itu sama dengan membuat satu Ferrari tetapi tidak pernah dipakai.” (www.bbc.co.uk)
Manajemen Talenta di Perusahaan Swasta.
Dibandingkan dengan tradisi dan proses manajemen talenta di klub-klub sepakbola profesional, boleh di bilang perusahaan-perusahaan swasta di dunia, apalagi di Indonesia, telat menjalankan manajemen talenta.
Istilah manajemen talenta baru mengemuka setelah McKinsey mencetuskan gagasan “the war for talent” pada tahun 1997. Sebelumnya, para akademisi dan praktisi di bidang sumber daya manusia lebih suka “mengobok-obok” manajemen sumber daya manusia melalui pendekatan psikologi dan kemudian berbasis kompetensi.
Kecuali “telat”, mungkin juga tidak semua perusahaan swasta di Indonesia menjalankan manajemen talenta. Kalaupun ada perusahaan-perusahaan swasta nasional besar yang menjalankan manajemen talenta, mereka yang masuk dalam kategori “best practices” bisa dihitung dengan jari-jari sebelah tangan.
Bagi sebagian besar perusahaan, manajemen talenta lebih dipandang sebagai cost center daripada investasi. Meskipun semua pemimpin perusahaan yakin dan (terlalu gampang) berikrar bahwa karyawan adalah asset yang sangat penting bagi perusahaan, tidak mudah menemukan perusahaan-perusahaan yang menjalankan manajemen talenta.
Pendanaan mungkin merupakan salah satu faktor yang menjadi pertimbangan untuk melaksanakan manajemen talenta. Tetapi sejatinya, pendanaan bukan menjadi faktor yang menjadi penghambat manajemen talenta. Keadaan yang sesungguhnya terjadi adalah para pimpinan perusahaan tidak memiliki passion, kesabaran dan ketekunan untuk menjalankan manajemen talenta.
Saya masih ingat bagaimana sebagian pimpinan perusahaan malah bersikap sinis terhadap program management trainee yang digagas oleh pemegang saham. Para pimpinan perusahaan lebih percaya kepada tenaga kerja yang siap pakai dan berasal dari sumber eksternal perusahaan. Meskipun sempat mengalami “pasang surut”, pada akhirnya terbukti bahwa para karyawan yang dibina sendiri jauh lebih dapat dipercaya untuk meneruskan tongkat estafet kepemimpinan perusahaan.
Mengingat bahwa proses manajemen talenta tidak segera membuahkan hasil, maka diperlukan daya tahan dalam jangka waktu relatif lama. Daya tahan yang diperlukan tidak hanya dalam pendanaan, melainkan terutama dalam hal passion, kesabaran dan ketekunan menjalankan manajemen talenta.
“Passion”, Sabar dan Tekun.
Sebagaimana klub sepakbola profesional lainnya, FC Real Madrid juga memiliki akademi sepakbola. Dengan brandname yang sangat kuat dan didukung oleh prestasi yang telah diraih, tidak terlalu sulit bagi Real Madrid untuk mengumpulkan dana dari para sponsor. Jadi, sejatinya pendanaan bukan problem utama bagi Real Madrid untuk menjalankan manajemen talenta.
Masalahnya, Florentino Perez (presiden Real Madrid) dan pelatih Jose Mourinho adalah orang-orang yang lebih memuja dan mendahulukan pendekatan hasil ketimbang pendekatan proses. Di era kepemimpinannya, Perez adalah orang yang “berhasil” mendatangkan pesepakbola “papan atas” seperti Zinedine Zidane, Ronaldo Luis Nazario De Lima, Roberto Carlos, Luis Figo, David Beckham, Kaka, dan Christiano Ronaldo.
Sembari “membuang” beberapa pesepakbola yang telah dibeli Real Madrid dengan harga mahal, Mourinho “dimanjakan” dengan pembelian beberapa pesepakbola yang dibeli dengan harga transfer relatif mahal, antara lain Angel Di Maria, Mezut Oezil, Shami Khedira, Fabio Coentrao. Praktis – setelah menjual Icon Real Madrid Raul Gonzales – tinggal kiper Iker Casilas saja yang asli didikan akademi sepakbola Madrid yang saat ini memperkuat tim utama.
Meskipun sudah memiliki penyerang dan winger hebat (Higuain, Benzema, Maria dan C. Ronaldo), Perez dan Mourinho masih “kepincut” bintang muda timnas Brasil, yaitu Neymar. Setelah kalah dalam duel el clasico melawan FC Barcelona tanggal 10 Desember 2011 yang lalu, Real Madrid tertarik untuk mendatangkan Edison Cavani (pesepakbola asal Uruguay yang saat ini “bersinar” di klub Napoli, Italia) untuk menambah “daya gedor” Real Madrid.
Photo courtesy of http://www.telegraph.co.uk
Perez dan Mourinho tidak hanya “serakah” memburu pesepakbola yang sudah jadi demi gelar juara di liga Spanyol maupun liga Champion. Perez dan Mourinho bukan hanya tidak memiliki passion, kesabaran dan ketekunan untuk melaksanakan manajemen talenta, tetapi memang tidak percaya kepada proses dan hasil dari manajemen talenta.
Perez dan Mourinho tidak hanya tidak percaya kepada para pesepakbola muda hasil didikan akademi sepakbola Real Madrid, melainkan menutup kesempatan mereka untuk tumbuh dan berkembang di tim utama Real Madrid. Seperti kata Puig, Perez dan Mourinho terlalu sering “membuat atau membeli Ferrari, tetapi kemudian tidak memakainya”.

Sumber : Yenny & Wisanggeni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar